Merusak itu mudah. Apa pun urusannya, apa pun konteks dan
waktunya, merusak itu mudah. Pohon mahoni berumur 2 tahun yang sudah setinggi
kirakira 3 meter, lalu ditebang hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Waktu
dua tahun menanti sebuah pohon untuk tegak, hijau dan memberikan manfaat pada kehidupan
bukanlah waktu yang sekejap. Selain itu butuh energi dan dana untuk
membangunnya lagi. Begitu pun dengan reboisasi hutan. Dana yang dibutuhkan dan
dikeluarkan untuk reboisasi banyak hutan yang rusak bukanlah perkara mudah. Ada birokrasi tertentu
yang terkadang membuat dana tersebut terhambat keluar.
Jutaan hektar sudah hutan Indonesia rusak. Pada 2007,
pemerintah menyediakan dana sebesar 5,7 triliun untuk menanami kembali hutan
seluas 2 hektar. Tinggikah nilai itu? Mungkin masih kurang karena Indonesia
kehilangan hutannya sekitar 2,8 juta hektar setahun. Padahal, reboisasi
bukanlah sulap. Reboisasi adalah proses panjang yang membutuhkan banyak pihak
untuk saling bekerja sama.
Reboisasi Hutan agar Bumi Tetap Hijau
Hutan merupakan bagian penting dalam siklus karbon global
karena pepohonan di dalamnya menyerap karbon dioksida melalui proses
fotosintesis. Dengan menyerap karbon dari permukaan bumi, hutan berfungsi
sebagai penyimpan karbon dalam jumlah banyak. Meskipun banyak karbon dihasilkan
dan meracuni udara bumi, pohon bisa menyerapnya dengan baik. Dengan demikian, melestarikan
hutan adalah upaya efektif mencegah (memperlambat) terjadinya pemanasan global.
Ada 4 strategi inti yang bisa dilakukan untuk mengurangi
jumlah emisi karbon melalui pengelolaan hutan, yakni dengan meningkatkan jumlah
tanah hutan melalui proses reboisasi, meningkatnkan kepadatan karbon di
hutan-hutan melalui proses reboisasi, meningkatnkan kepadatan karbon di
hutan-hutan yang sudah ada, dan mengurangi pengeluaran emisi karbon yang menyebabkan
gundulnya hutan dan semakin terpolusinya bumi.
Reboisasi adalah strategi yang tepat untuk dilakukan. Untuk
melaksanakan program reboisasi, dibutuhkan usaha yang besar dan menyeluruh.
Meski terkesan sulit, banyak organisasi di dunia yang berusaha mengampanyekan penanaman
pohon untuk memerangi emisi karbon yang mengakibatkan perubahan iklim. Sebut
saja di Cina, Jane Goodall Institute meluncurkan proyek Jutaan Pohon di wilayaj
Kulun Qi, pedalaman Mongolia .
Lokasi tersebut dipilih agar proses penggurunan terhenti.
Cina sendiri telah memanfaatkan lahan seluas 24 miliar meter
persegi untuk membuat dan menanami hutan baru serta menumbuhkan kembali hutan
alami untuk mengurangi emisi bahan bakar minyak yang terjadi di Cina sejak
tahun 2000. Sementara itu di Pulau
Jawa , Indonesia ,
diterapkan peraturan agar para calon pengantin memberikan 5 semaian (bibit)
kepada penasihat pernikahannya, agar mereka bisa menanamnya untuk mencegah
pemanasan global. Sementara itu jika ada pasangan yang bercerai, ia harus
memberi 25 semaian kepada mantan pasangannya tersebut.
Strategi reboisasi yang kedua adalah bagaimana memilih
spesies untuk ditanam di hutan. Secara teori, menanam pohon jenis apa pun
membantu pertumbuhan hutan untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Namun di
sisi lain, sebuah pohon yang sudah dimodifikasi susunan genetisnya bisa tumbuh lebih
cepat dari pohon normal. Pepohonan seperti ini banyak digunakan di industri
biofuel dan kayu. Pohon yang bisa tumbuh dengan cepat ini tak hanya menguntungkan
ditanam bagi pelaku industri, tetapi juga baik jika ditanam di hutan untuk
dapat menyerap karbon secara lebih cepat.
Pengelolaan Program Reboisasi Hutan
Pelaksanaan reboisasi untuk area yang luas bisa dilakukan
dengan mengukur luas hutan dan mengebor (melubangi) area tersebut agar
pohon-pohon yang ukurannya besar bisa ditanam dengan baik. Pemupukan secara
alami bisa dilakukan di area yang kurang subur tanahnya. Permasalahan yang kini
masih menjadi perdebatan dalam pengelolaan reboisasi adalah apakah hutan hasil reboisasi
akan memiliki biodiversitas yang sama dengan hutan yang sebelumnya.
Jika hutan yang lama digantikan hanya oleh satu spesies
pohon tertentu dan beragam tumbuhan lain dilarang untuk tumbuh, sebuah hutan
homogen adalah hasilnya. Akan tetapi, kebanyakan program reboisasi hutan
melingkupi penanaman berbagai jenis spesies tanaman yang diambil dari beragam
tempat.
Faktor penting lainnya adalah regenerasi alami atas beragam
tanaman dan hewan yang mungkin terjadi. Di beberapa wilayah, kebakaran hutan
selama beberapa ratus tahun terakhir menyisakan beberapa spesies tanaman tua di
hutan tersebut. Sayangnya, pengelolaan reboisasi ini berbentrokan dengan
penggunaan lahan lainnya, seperti memproduksi makanan, menggembalakan ternak,
dan perlunya area kehidupan yang memadai luasnya demi pertumbuhan ekonomi.
Selain itu bagi mereka yang skeptis, disinyalir terdapat risiko yakni karbon
yang terserap di dalam hutan hasil reboisasi bisa kembali naik ke atmosfer jika
terjadi kebakaran hutan.
Meski demikian, banyak ahli lingkungan yang meyakini bahwa
reboisasi adalah salah satu cara efektif membuat bumi menjadi lebih muda. Hal
ini pun diyakini oleh banyak negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Cina.
Di Amerika Serikat, pengelolaan sumber daya hutan dan kegiatan penanaman
kembali setelah ‘panen’ kayu adalah salah satu program penting dalam menjaga
hutan. Sementara itu di Jerman, proses reboisasi dibutuhkan sebagai bagian dari
hukum federal hutan. 31% area Jerman telah dijadikan hutan, itulah data yang didapatkan
dari pemerintahnya pada tahun 2001 – 2003.
Reboisasi Hutan: Program “One Man, One Tree”
Apa kabar program "one man, one tree"? Masihkah
gaungnya senyaring pada saat diluncurkannya? Proyek "one billion
tree" yang juga dideklarasikan oleh pemerintah, tinggal slogankah atau ada
implementasinya hingga saat ini? Tidak mudah mengubah pola pikir sebuah
generasi. Dari pola pikir perusak, mau menang dan enak sendiri, ke arah pola
pikir membangun dan memberi. Bila saja setiap individu di Indonesia ini
dididik untuk lebih banyak memberi dan membangun, tentunya penanaman kembali hutan
tidak akan menjadi masalah lagi. Semua orang ingin memberi dan membangun tanpa
merusak. Bukti keseriusan pemerintah menangani reboisasi hutan belum terlalu
terlihat. Malahan program masyarakat melalui LSM-LSM peduli lingkunganlah yang
proyek reboisasinya banyak dan lumayan terlihat bayangannya.
Bumi yang semakin meradang ini butuh selimut berupa kanopi
hijauan daun yang dapat menurunkan temperatur hingga 3 derajat per pohon yang
rindang. Tapi kini, hutan kota
pun tak mampu membuat udara sedikit sejuk. Ini berarti efek dari pemanasan
global sudah tiba atau mungkin ini bukan efeknya, melainkan sudah menjadi
akibat dari pemanasan global yang sudah datang, bukan hanya mengintip.
Reboisasi Hutan: Hutan Mangrove dan Karang Laut
Keberadaan hutan mangrove tidak hanya sebagai penahan abrasi
pantai tapi juga sebagai penyaring polusi. Tapi ternyata biaya reboisasi hutan
mangrove tidak murah. Sebagai contoh, biaya reboisasi hutan mangrove di Lampung
adalah 3 miliar. Belum lagi tempat lain. Ratusan miliar yang dibutuhkan untuk menghijaukan
lagi tepian pantai. Selain itu, dibutuhkan tenaga orang-orang yang berdedikasi
tinggi untuk memeliharanya.
Bila pernah menyusuri pantai mangrove di Bali
yang kini sudah dijadikan objek wisata, maka para pelaku penanaman kembali
hutan mangrove di tempat lain tentu akan semakin semangat. Betapa tidak.
Manfaat hutan mangrove sangat banyak. Hutan mangrove merupakan habitat yang
sangat tepat bagi para ikan. Jadi para nelayan akan sangat diuntungkan dengan
adanya hutan mangrove ini.
Karang laut ternyata penyerap polusi yang cukup hebat. Tapi
dengan banyaknya kerusakan akibat penangkapan ikan dengan bom dan karangkarang
laut yang disalahgunakan membuat semakin rusak dan hilanglah karang laut
tersebut. Biaya reboisasi hutan karang laut tentu lebih mahal lagi. Selain proses
pelaksanaan yang membutuhkan keahlian khusus, peralatannya juga khusus. Akan
tetapi Indonesia masih
beruntung dengan adanya segelintir orang yang dengan semangat pembangunan
merelakan diri dan mengabdikan ilmunya demi keselamatan karang laut Indonesia .
Sumber : http://www.anneahira.com/reboisasi-hutan.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar